Selasa, 18 Agustus 2009

Ayam Abu-abu

“GREY CHICKEN”, Siapa Yang Salah???

Mungkin sudah tidak asing lagi mendengar “Grey Chicken” di kota-kota metropolis. Nama “Ayam Kampus” yang sebelumnya sering terdengar di telinga kita seolah-olah mulai jarang terdengar lagi. Sekarang ayam kampus sudah mulai kehilangan pamor dengan adanya “Grey Chicken”. Hal ini dimungkinkan oleh para om-om yang lebih suka mencari “daun muda” dan perawan walaupun rela merogoh kocek dalam-dalam sekalipun.

Sebenarnya masa-masa SMA adalah usia emas, di mana kawula muda dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada. Misalnya: dalam bidang kependidikan, olahraga, seni dan musik, ataupun potensi-potensi lain yang dapat dikembangkan. Namun semua hal itu kembali pada diri pribadi. Apabila dapat mengendalikan nafsu , Insya Allah tidak akan masuk ke dalam “Dunia Ayam”. Dan terjerumusnya para kawula muda ke dalam “Dunia Ayam” disebabkan banyak factor, antara lain:

1. Faktor Ekonomi

Ekonomi adalah factor yang paling kuat seseorang masuk kedalam “Dunia Ayam”. Ekonomi bukanlah factor mutlak yang mempengerahui seseorang untuk terjun dalam dunia esek-esek. Namun para remaja kebanyakan ingin memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak ingin menggantungkan orang tua. Hal tersebut memang benar dengan tidak mau menggantungkan orang tua, tapi cara yang digunakan mungkin kurang benar.

2. Faktor Keperawanan

Selain factor ekonomi, juga ada factor keperawanan. Para “Grey Chicken” masuk ke dalam “Dunia Ayam” disebabkan oleh keperawanan (Virginitas). Mungkin sebelum terjun ke lembah hitam para “Grey Chicken” sudah kehilangan keperawanan oleh teman, pacar, atau mungkin bapak. Kemudian mereka berfikir, dari pada sudah tidak perawan lebih baik menjadi PSK sekalian dan dapat menghasilkan uang pula, mungkin fikir mereka seperti itu.

3. Faktor Kecemburuan

Factor ini mungkin terdapat di lingkungan pendidikan. Hal ini disebabkan oleh adanya teman yang mungkin memiliki Handphone bagus ataupun peralatan kosmetik yang harganya mahal. Karena jiwa muda adalah dimana jiwa yang rasa ingin memiliki besar sekali. Apabila ada teman punya “Ini-Itu”, rasa kita ingin juga memilikinya. Namun tidak semuanya memiliki sifat tersebut.

Mungkin 3 faktor tersebut sebagian dari factor yang mempengaruhi terjerumusnya para kedalam “Dunia Ayam”. Namun tak sepenuhnya 3 faktor tersebut mutlak. Masih banyak factor yang tidak dapat kita ketahui dan mungkin dapat diketahui oleh “Grey Chicken” itu sendiri.

Tidak setiap sekolah terdapat “Grey Chicken”, namun juga ada beberapa sekolah terdapat “Grey Chicken” dan jumlahnya pun mungkin tidak banyak. Sekolah favorit tentunya memiliki nilai plus tersendiri. Para pem”booking” tentunya tahu mana yang berkelas dan tidak. Tetapi dengan status sekolah favorit pun tidak terlalu membuat “om-om” tertarik begitu saja. Face plus service yang memadai adalah yang diinginkan juga. Tarif sekali booking “Grey Chicken” yang didapatkan minimal adalah Rp. 500 ribu dan itupun tidak bersih, harus ada bagi hasil dengan muncikari. Biasanya berkisar 30:70, 40:60 dan terkadang 50:50. namun tidak tertutup kemungkinan bisa lebih dari itu, tergantung dari kesepakatan.

“Grey Chicken” dapat ditengarai dengan cirri-ciri sebagai berikut:

1. rok seragam ketat, lebih 3 cm di atas lutuu

2. dua kancing atas seragam dibuka

3. bra berwarna mencolok, biasanya warna hitam, pink, kuning dan sebagainya

4. sering muncul di setiap pertunjukan musik anak muda

5. dandanan menor. (Jawa Pos, halaman 34, 19 Mei 2008)

Namun ada juga “Grey Chicken” yang lebih suka menutupi identitasnya. Mereka memiliki jaringan tertutup yang hanya diketahui orang tertentu.

Dengan adanya “Grey Chicken”, siapa yang patut disalahkan??? Orang tua, pihak sekolah, para om-om, ataukah “Grey Chicken” itu sendiri??? Tidak akan yang bisa menjawab pertanyaan ini. Kalau dibilang orang tua yang salah, mungkin orang tua sudah mengawasi putrinya dengan seksama. Namun kecerdikan putrinya-lah yang bisa menutupi dan menyembunyikan semua hal itu. Kalau dibilang pihak sekolah yang salah, tidak mungkin. Karena pihak sekolah hanya sebagai fasilitator dimana sebagai orang tua yang kedua setelah bapak dan ibu. Dan lingkupnya pun hanya sebatas di sekolah. Kalau di luar sekolah, sudah menjadi tanggung jawab orang tua. Kalau dibilang para om-om yang salah, juga tidak mungkin. Sebab kucing tidak akan mau menolak jika ada ikan asin tergeletak di atas meja. Dan kalaupun “Grey Chicken” itu sendiri yang disalahkan, juga tidak bisa begitu. Karena factor-faktor yang mempengaruhi siswi menjadi “Grey Chicken” sudah sangat jelas seperti yang tertera di atas.

Akankah generasi dari ayam kampus, “Grey Chicken” akan berlanjut pada blue chicken (siswi SMP)??? Naudzubillah min dzalik. Mudah-mudahan blue chicken jangan terjadi di lingkup SMP lebih banyak walaupun sudah ada yang terjerumus.* (penulis seorang mahasiswa kimia universitas negeri surabaya dan anggota FKMB-Unesa)


2 komentar:

  1. oooooooooo..gathel..aku browsing golek grey chicken seng metu malah iki......

    BalasHapus
  2. Ass...keren juga mas tulisannya n smga bsa menampilkan tulisan2 yang lain yg bsa bermanfaat bt orang lain.

    BalasHapus

Mohon komentar dengan sopan,,
terima kasih